Jumat, 26 Oktober 2012

Pura Tirta Empul Tampak Siring



Pura Tirta Empul Tampak Siring



Pesona Pulau Dewata memang tidak pernah habis untuk dinikmati dan tak akan lekang di makan waktu. Berbagai warisan budaya di Bali masih kokoh bertahan walau digempur arus globalisasi. Tak heran jika pulau seluas 5.634 km persegi tersebut selalu menjadi lokasi tujuan wisata baik wisatawan mancanegara maupun turis lokal.
Salah satu warisan budaya dari pulau kelahiran Untung Suropati ini adalah Pura Tirta Empul Tampak Siring. Pura yang masuk dalam wilayah Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar dimaksud berada tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring. Secara etimologi, Tirta Empul berarti air suci yang menyembul keluar dari tanah. Air tersebut kemudian mengalir ke sungai Pakerisan. Sumber air ini kerap digunakan untuk Upacara Melukat oleh ribuan penduduk Bali dengan makna sebagai perlambang pembersihan manusia dari berbagai hal-hal negatif.
Berdasarkan situs Parisada, pemandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapal tahun Icaka 884 atau sekitar 962 Masehi pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa. Sementara Pura Tirta Empul sendiri dibangun pada zaman Raja Masula Masuli, sesuai dengan yang tertoreh dalam lontar Usana Bali. Menurut prasasti Sading, Raja Masula Masuli berkuasa pada tahun Icaka 1100 atau 1178 Masehi.
Seperti pura lainnya di Bali, Pura Tirta Empul terdiri dari tiga bagian, Jaba Pura (Halaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah), dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat dua kolam persegi panjang yang memiliki 30 buah pancuran, berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing – masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala, dan Pancuran Cetik (Racun).
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul terkait erat dengan mitologi pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dikisahkan, Raja Mayadenawa bersikap sewenang – wenang dan tidak mengijinkan rakyat melaksanakan upacara keagamaan untuk memohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Perbuatannya diketahui para Dewa yang dipimpin oleh Bhatara Indra yang kemudian menyerang Mayadenawa.
Mayadenawa kemudian melarikan diri dan sampai di sebelah utara desa Tampak Siring. Dengan kesaktiannya, ia ciptakan sebuah mata air Cetik (Racun) yang mengakibatkan banyaknya prajurit  Bhatara Indra yang gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini, Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan memancarkan air keluar dari tanah (Tirta Empul). Air suci inilah yang kemudian digunakan untuk memerciki para Dewa sehingga tak lama kemudian mereka bisa hidup lagi seperti sedia kala.
Bagi Anda yang ingin merasakan kentalnya tradisi Hindu di Bali, lengkapi perjalanan Anda dengan berkunjung ke Pura Tirta Empul seraya berpartisipasi dalam upacara Melukat. Selain suasananya sejuk dan tenang, dinginnya air pemandian Tirta Empul juga akan menyejukkan penatnya kepala akibat pekerjaan. Jangan lupa untuk berbelanja di kota Gianyar yang juga ternama sebagai salah satu pusat seni di Pulau Dewata.
 

Bedugul – Kebun Raya

Bedugul terletak di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan Bali. Jaraknya sekitar 62,6 km atau sekitar 1 jam 14 menit dari Bandara International Ngurah Rai dan 40 km dari Kota Singaraja lewat perjalanan darat. Tempat wisata di Bali ini menawarkan, keindahan pemandangan alam daerah pegunungan dan danau. Terletak pada ketinggian 1240 meter dari permukaan laut, dengan temperatur rata-rata 18 Celcius pada malam hari dan 24 Celcius pada siang hari. Tempatnya yang tinggi membuat obyek wisata ini selalu berhawa dingin dan berkabut. Kebun Raya Bedugul merupakan salah satu hutan lindung sebagai paru-paru udara pulau Bali. bedugul Bedugul   Kebun Raya

Harga Tiket Masuk Kebun Raya Bedugul Bali:

  • Rp 7.000 per orang
  • tiket kendaraan roda dua Rp 3.000
  • kendaraan roda empat Rp 6. 000
  • kendaraan roda enam Rp 12.000
  • serta tiket mobil masuk Rp 12.000
Setelah lelah berjalan- jalan di kebun raya, jangan lupa singgah di pasar tradisional Candi Kuning. Tersedia bermacam-macam sayuran seperti wortel, sayur ijo, kembang kol, dan tomat. Ada juga buah strawberry, salak, jeruk dan markisa segar hasil panen dari penduduk setempat. Banyak juga pedagang jagung manis rebus yang mantap dinikmati dengan dinginnya udara pegunungan. Barang barang kerajinan khas Bali seperti ukir- ukiran,  baju Bali, kain pantai juga banyak dijual di pasar ini.
Obyek wisata yang letaknya berdampingan dengan Kebun Raya Bedugul, adalah Danau Beratan. Merupakan wilayah Desa Candi Kuning , Kecamatan Baturiti kabupaten Tabanan. Cuaca yang sejuk di siang hari dapat dinikmati dengan menyewa kapal boat atau sampan untuk mengelilingi danau. Di tengah danau terdapat subuah pura yang disebut Pura Ulun Danu tempat pemujaan Sang Hyang Dewi Danu sebagai pemberi kesuburan. Di sekitar danau sering dijadikan  salah satu lokasi foto pre wedding di Bali oleh wisatawan manca negara dan wisatawan domestik.
Di sepanjang jalan menuju Kebun Raya Bedugul dan Danau Beratan, banyak dibangun penginapan dan restoran. Restoran tersebut menyediakan menu masakan Indonesia, seafood dan menu International. Harganya pun bervariasi. Pedagang- pedagang makanan kecil dan pedagang acung juga terdapat di pinggir jalan di tepi danau. Obyek wisata ini sangat cocok bagi keluarga dan pasangan yang ingin berlibur ke Bali.
Jika anda ingin mengunjungi tempat wisata ini, anda dapat menggunakan jasa sewa mobil Bali, yang kami sediakan dengan penyewaan mobil dengan supir atau tanpa supir. Apabila anda memerlukan petunjuk arah menuju kebun raya Bedugul, silakan gunakan peta di bawah untuk mencapai lokasi, dengan cara mengklik link di bawah peta yang bertuliskan “Lihat Peta Lebih Besar”.

Pura Besakih

PURA BESAKIH
            Pura BesakihPura Besakih sudah termasyhur di seluruh dunia. Ratusan artikel dalam berbagai bahasa sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai media komunikasi. Ada yang menyebut, Pura Besakih sebagai”Ibu-nya semua pura”. Sampai abad 21 ini, Pura Besakih memang yang terbesar. Siapa yang meletakkan batu pertama dalam pembangunan pura ini ? Ternyata beliau adalah seorang tokoh spiritual India yang lama hidup di Jawa. Namanya Markandeya. Ada yang menambah kata Resi di depan namanya. Ada pula yang memberikan julukan Bhatara Giri Rawang.
            Pura Besakih adalah gugusan 86 buah pura. Kompleks Pura Besakih terdiri atas 18 buah pura umum, 4 pura Catur Lawa, 11 pura pedharman, 6 pura non-pedharman, 29 pura dadia, 7 pura berkaitan dengan pura dadia dan 11 pura lainnya.
            Sebelum Pura Besakih berdiri megah seperti sekarang, dahulu kawasan itu berupa hutan belantara. Binatang buas masih banyak hidup di sana. Ketika itu juga belum ada Selat Bali yang kini dikenal dengan nama Segara Rupek. Daratan Bali dan Jawa dahulu kala konon masih menjadi satu, belum terpisahkan laut. Itulah sebabnya, daratan ini (Bali dan Jawa) sering disebut Pulau Dawa. Nama itu diberikan mungkin lantaran daratan ini panjang. Sebagaimana kita ketahui, kata “dawa” berarti panjang.
            Alkisah, sebagaimana dituturkan dalam Lontar Markandeya.
            Berikut ini diuraikan secara ringkas nama-nama pura di kawasan Besakih.      
        Pura Pesimpangan
            Sesuai dengan namanya, pura ini berfungsi sebagai tempat pesimpangan (singgah) setelah umat kembali dari Melasti di Segara Klotok, Klungkung. Piodalan di pura ini dilangsungkan pada hari Anggara Keliwon Julungwangi.
        Pura Dalem Puri
            Pura ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung, dengan ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut. Di pura ini distanakan Bhatari Durga. Seusai menggelar Pitra Yadnya yaitu Ngaben dan Memukur atau Ngeroras, umat Hindu biasanya tangkil ke pura ini, mendak nuntun Sang Pitara untuk distanakan di sanggah  ataupemerajan masing-masing. Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat tanah lapang yang dinamakai Tegal penangsaran. Disitu ada sebuah tugu kecil di sebelah timur pura. Piodalan di pura ini pada hari Buda Kliwon Ugu, sedangn setiap tahun pada sasi Kepitu penanggal 1,3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Didalam pura inilah menurut suatu cerita, Sri Jayakasunu menrima pewarah-warah atau sabda dari Bhatara Durga tentang upacara Eka Dasar Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan lain-lainnya.
            Untuk mengetahui sejarah berdirinya, ada sejumlah sumber yang pernah diteliti. Menurut Lontar Padmabhuwana ada disebutkan, "Nihan mulaning andhaping pulo Bali ring ulana, katama tekaning mangke, ma wit duk ilahi 85, tatkala nira hi haji candrabhaya umadeg ratujumeneng sira ring tampaksiring, irika wangun kahyangane ring basukih, makadi cungkube ring dalem puri, ika purane katih, rvmaga puseh miwah dalem, maka huluning bumi bali. Ikang makalingga cinandi ring parhyangan ring basukih, tan hana waneh sira paduka bhatara sanghyang anthaliwaditya, bapa akasa, metu sira saking pancaksara, umungguh ring tehnging padmabhuwana, makaksara YANG witning akasa. Muwah ikang makalinggasthana cungkub dalem puri, strata sanghyangning basukih, hyang Iiwagni, ibu pertiwi, wetu sira saking pancabrahma, umungguh ring jero padmabhuwana, makaksara ING mawitning ibuprtiwi."
            Artinya:
            "Inilah asal mulanya Pulau Bali pada zaman dahulu, yang berada sampai sekarang, dimulai ketika tahun 1085 Çaka (II63 M), ketika itu beliau raja Çri Candrabhaya menjadi raja dan berkeraton di Tampaksiring, ketika itu berdirilah Pura Besakih, dan sebagai Pura Setra adalah Pura Dalem Puri, kedua pura itu berwujud Puseh dan Dalem, sebagai pemujaan bumi Bali. Yang dilinggihkan di Pura Besakih, tiada lain adalah beliau Bhatara Sanghyang Anthaçiwaditya, Haji Akasa. Beliau muncul dari pancaksara (nang, mang, sing, wang, yang), bersthana di pusatnya bagian atas (urdhah) dari padmabhiiwana, diwujudkan dengan wijaksara YANG yaitu asalnya akasa. Selanjutnya yang bersthana di Pura Setra Dalem Puri, beliau adalah juga Bhatara di Besakih, Hyang Çiwagni, Ibu Prtiwi, beliau muncul dari pancabrahma (sang, bang, tang, ang, ing), bersthana di dalam padmabhuwana, berwujud wijaksara ING yaitu asalnya Ibu Prtiwi."
            Kemudian menurut Majalah Bhawanagara No. 1 Tahun 1930, yang diterbitkan oleh Kirtya Liefrinck van der Tuuk, termuat artikel yang berjudul "Pura Besakih dengan Turutannya” yang ditulis oleh Ida Putu Maron, Lid Raad Kerta di Gianyar. Di dalam artikel itu antara lain disebutkan :
            "Pada zaman purbakala setelah Prabu Mayadanawa, dikalahkan oleh Batara Indra, kira-kira sesudah Sri Empu Kuturan dapat membangunkan beberapa pura di Bali dengan disertai beberapa peraturan desa untuk kegunaan memelihara pura itu, kemudian adalah Ksatrya Utama turunan raja, yaitu Wisnuwangsa-kula dari Daha Jawa Dwipa, bernama baginda Sri Wira Dalem Kesari turun mendatangi Pulau Bali bertakhta raja di Kahuripan (bumi Besakih), pamerajannya bernama Pamerajan Selonding, membuat Dalem di Pura Dalem Puri”.
            Di bagian lain dari artike) itu menyebutkan:
“Perihal wali di Pura Dalem Puri, pada hari tilem bulan KepituT diadakan selamatan Ngusaba, nama Batara tidak discbutkan, jika menilik mantra pangastawa yang didoakan oleh Padanda-padanda pada ketika Karya Pamelaspas tersebut di atas (tanggal 1-2 April 1928) yaitu mandra Durgastawa, jadi kalau begitu teranglah Batari Durga yang didudukkan di situ.*' (Bhawanagara, No, 1, 1930, hal 21-23).
            Menurut hasil penelitian yang dilakukan Institut Hindu Dharma Denpasar, kedua sumber sekunder ini mempunyai beberapa kelemahan. Lontar Padmabhuwana tersebut mempunyai kelemahan historiografi dan penguraiannya secara mistis, namun hal itu dapat diterima ditinjau dari segi pandangan kosmis, Artikel pada majalah Bhawanagara tersebut tidak menunjuk sumber sebagai dasar penulisannya. Kendatipun demikian, namun untuk sementara, sebelum sumber primer dijumpai, maka informasi tersebut di atas perlu diperhatikan.
            Nama Pura Dalem Puri berarti Pura Dalem Kerajaan, karena pengertian Puri berkaitan dengan raja atau kerajaan. Dengan demikian maka hubungan pura itu dengan raja atau suatu kerajaan, sudab jelas. Namun muncul pertanyaan, raja siapa yang mendirikannya dan untuk apa pura itu didirikan?
            Di dalam artikel Ida Putu Maron tersebut di atas, disebutkan bahwa Pura Dalem Puri dibangun oleh raja Sri Wira Dalem Kesari. Beliau seorang ksatria dari Daha-Jawadwipa yang bertakhta di Kahuripan (bumi Besakih). Istilah Sri Wira Dalem Kessri berani raja yang gagah berani bagaikan singa (kata kesari = singa). Sifat singa adalah pemberani, ganas dan mampu mengalahkan binatang lain, sehingga ia merajai binatang (pasupati). Sifat berani dan ganas, menunjukkan suatu sifat jaya, sedangkan merajai binatang yang di dalam bahasa Sansekerta disebut pasupati menunjukkan suatu sifat sakti.
            Dengan analisa ini, maka raja yang bernama Sri Wira Dalem Kesari itu besar kemungkinannya adalah raja Jayasakti yang datang dari Kediri Jawa Timur, karena kata Daha berarti Kediri. Mengenai kedatangan Jayasakti ke Bali, disebutkan di dalam prasasti Sading B (tipe tinulad) sebagai berikut :
            "Içaka 1072 cetramasa titi dwadaçi çukla paksa, tang, ping, 12, warani julungpujut, irika nira paduka çri maharaja jayaçakti umahemana para senapati makadi rakryanapatih umingsor i tanda rakryan ri pakirakiran inayun alunga mareng banwa ing bangsul, kalawan strinira akadatwana pwa sira aneng gunung adrikarang.
            Sangkaning turuna sira apan hana pakwaning yayahira sanghyang guru, donya gumawyana dharmma rikang gunung lampuyang, maka karahaywaning jagat bangsul karuhun, iniringaning sawatek mpungku çewaçogata batamantri tumut. Irika sang çri jayaçakti kanaratwaken dening sarat. Tan kapingging pwa sira rinatwakan apan sira bhawalaksana tekeng aji tan kewran pwa sira dening mohang murkeng citta mwang lobengambek rikeng rat. kabrtyanya tuhu matowang, apan sira ratu cakrawarti, apan sira ratu jayeng bharata, paramartha sira.
            Hana pwa caranira makadi sabrtya makweh tan kneng winilang, kewalya mantrinira juga hetungen binata kwehnya dwang bangsit katekeng parajurit jawa, inarana pwa sang prabhuraja bima, nga, çri jaya, nga, çri jaya, nga, çri genijayaçakti…". (Turunan prasasti Sading, koleksi Ida Padanda Gede Pamaron di Munggu).
            Artinya:
            "Tahun Çaka 1072 (1150 M) sasih Kasange pananggal 12, wuku Pujut, ketika itu maharaja Jayasakti merapatkan para pimpinan tentara terutama Rakryan Patih dan yang berada di bawah Rakryan Patih; di dalam paruman itu (raja Jayasakti) berkeinginan pergi mendatangi Pulau Bali, disertai istrinya; membuatlah beliau istana di Gunung Adrikarang. Mengapa beiiau datang ke Bali, karena perintah dari ayah beiiau yang bergelar Bhatara Guru; tujuan beliau membangun tempat pemujaan di gunung Lempuyang, adalah untuk keselamatan bumi Bali kemudian; beliau diiringi oleh segenap pendeta Çiwa dan Buddha, juga para menteri ikut mengiringinya. Di sana raja Jayasakti dinobatkan menjadi raja oleh masyarakat. Tidak canggung beliau dijadikan raja, oleh karena beliau cakap dalam pengetahuan, tidak disusahkan oleh pikiran angkara murka serta pikiran loba di masyarakat, para abdinya sungguh-sungguh menghormatinya, oleh karena beliau raja besar, telah berhasil dalam bharata, sempurnalah beliau. Pelayan dan abdinya banyak tidak dapat dihitung, hanya para Menterinya saja yang dihitung banyaknya 400 termasuk tentara Jawa; beliau digelari Sang Prabhu Maharaja Bima, atau Çri Bayu, atau Çri Jaya, atau Çri Genijayasakti…."
            Menurut penelitian Dr. R. Goris, bahwa masa pemerintahan raja Jayasakti di Bali malahan lebih awal dari tahun 1150 M dan prasasti-prasasti yang berhubungan dengan pemerintahannya di Bali antara lain adalah :
- Prasasti Manik Liu D (1055 Çaka)
- Prasasti Bwahan C (1068 Çaka)
- Prasasti Prasi A (1070 Çaka)
- Prasasti Campetan (1071 Çaka)
- Prasasti Sading B (1072 Çaka)
            Dari isi prasasti-prasasti itu, dapat diketanui bahwa raja Jayasakti berusaha mengendalikan pemerintahan secara teratur di Bali. Dalam beberapa prasastinya, beliau diberi pujian yang berbunyi: "kadi sira prabhu suksat harimurti" (sebagai raja beliau bagaikan Dewa Wisnu). Ketika beliau memerintah di Bali, di Kediri-Jawa Timur memerintahlah raja Jayabhaya (1135 – 1157 M).
            Hasil penelilian dari Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978 mengatakan, pengganti raja Jayasakti adalah raja Ragajaya yang memerintah tahun 1155 M. Prasasti raja Ragajaya dijumpai di Desa Tejakula, Buleleng. Di Desa Subaya, Kintamani, juga ditemui prasasti dari raja Ragajaya yang diduga bagian dari prasasti Tejakula.
            Pengganti raja Ragajaya adalah raja Jayapangus yang memerintah di Bali dari tahun 1177- 1181 M. Menurut uruian pemerintahan raja-raja Bali Kuna hingga sekarang. Jayapangus adalah pengganti Ragajaya, dengan catatan masih terbentang masa kosong selama 22 tahun antara kedua masa pemerintahan raja tersebut. Apabila selama masa kosong itu tidak ada, raja lain yang memerintah, maka dapat diperkirakan bahwa Jayapangus besar kemungkinannya putra dari Ragajaya.
            Mengapa prasasti dari Ragajaya hanya sebuah? Besar kemungkinannya masa pemerintahannya sangat singkat, karena beliau keburu wafat dan ketika itu Jayapangus masih kecil. Maka terjadilah masa kosong dalam pemerintahan. Jayapangus adalah raja besar di Bali dan beliau bergelar Çri Maharaja Haji Jayapangus. Sampai kini telah ditemui 43 buah prasasti yang dikeluarkan oleh Jayapangus. Dalam salah satu prasastinya beliau disebut: "…pinaka tapatraning bhuwana satungkeb balidwipa mandala."
            Masa pemerintahan Jayapangus sangat singkat yaitu hanya 4 tahun dan pengganti beliau mungkin sekali putranya yang bernama Çri Maharaja Haji Ekajaya Lancana yang memerintah tahun 1200 M. Prasastinya dijumpai di Kintamani yang dianugrahkan kepada "karaman Cintamani".
            Nama Ekajaya Lancana berarti: memakai tanda Jaya yang tunggal atau Jaya yang murni. Apakah tidak mungkin raja ini yang disebut (Çri Haji Jayakasunu dalam lontar Jayakasunu ? Kemungkinan itu selalu ada. karena raja Jayapangus pada masa pemerintahannya singkat sekali. Ketika beliau wafat, putranya Ekajaya Lancana masih kecil dan baru dinobalkan menjadi raja pada tahun 1200 M setelah berumur 19 tahun. Setelah Ekajaya Lancana. Bali diperintah oleh raja dinasti lain yang bergelar Çri Adukuntiketana. Sayang sekali nania Çri Haji Jayakasunu tidak dijumpai di dalam prasasti, namun disebut-sebut dalam pustaka lontar.
            Dalam lontar Kutara Kandha Dewapurana Bangsul, ada dikemukakan sebagai berikut:
            "…nyata inaweh hhaiara tanayanira makahehan wawu mijil dewata nawasangha, hanuhun sanakira kaheh, inasung pasajnanira swang-swang, kang panghulu sajna sanghyang ghenijayaçakti. bayuçakti, jayaçakti, samangkana pasamodhayaning pasajnanira, tahun mahaçokti wiçesaning sarwwa dewata sira.
            Kunang ikang arinira pasajna sanghyang putrajaya, sanghyang mahadewa pasenggahanira muwah,… (Padanda Gede Pamaron, 5b).
            Artinya :
            "…sekarang dianugrahilah sekalian putra Bhatara yaitu Dewata Nawangsangha yang baru muncul, menyembahlah putra beliau sekalian, diberi nama masing-masing, yang sulung diberi nama Sanghyang Ghenijayasakti, Bimasakti, Bayusaksi atau Jayasakti, demikianlah itu semuanya adalah nama beliau, sesungguhnya beliau amat sakti dan saktinya segala dewata. Adapun adik beliau bernama : Sanghyang Putrajaya, Sanghyang Mahadewa sebutan beliau yang lain….”
            Di bagian lain dari lontar itu menyebutkan bahwa Sanghyang Putrajaya menjadi dewa di Gunung Agung.
            Walaupun keterangan dalam rontal ini bersifat legenda, namun menarik darisegi analisis sejarah. Nama Ghenijayasakti, Bimasaksi, Bayusakti dan Jayasakti ada persamaannya dengan nama-nama yang tersebut dalam prasastra Sading. Selain itu nama Putrajaya mengandung pengertian yang sama dengan nama Jayakasunu, karena kata “kasunu” berarti “putra”.
            Di dalam lontar Jayakasunu disebutkan bahwa Çri Haji Jayakasunu bersamadhi (Dawasraya) di Pura Dalem Puri. Beliau merasa takut menjadi raja, karena raja-raja sebelumnya umumnya pendek. Di dalam Samadhi itu Çri Haji Jayakasunu mendapat pawisik (suara gaib) dari Bhatari Durga di Pura Dalem Puri, bahwa mengaparaja-raja di Bali sangat pendek umurnya, karena raja-raja itu melupakan merayakan Hari Galungan dan memasang penjor. Atas pawisik itu maka Çri Haji Jayakasunu, menghidupkan kembaliperayaan Hari Galungan yang sebelumnya tidak mendapat perhatian dari raja leluhurnya.
            Beberapa sumber sastra menyebutkan, bahwa perayaan Galungan muncul sejak zaman Kediri dari Jawa Timur. Prasasti Bali Kuna yang dikeluarkan sebelum pemerintahan Ekajaya Lancana, tidak banyak menyebutkan upacara-upacara keagamaan, sedangkan prasasti yang dikeluarkan oleh Ekajaya Lencana banyak menyebutkan upacara-upacara keagamaan.
            Jika Ekajaya itu benar-benar Jayakasunu yaitu keturunan dinasti Jaya dari Kediri, maka besar kemungkinan bahwa upacara Galungan dikembangkan di Bali oleh raja Çri Haji Jayakasunu dengan mengambil tradisi yang berlaku di Kediri Jawa Timur. Berdasarkan keterangan dan pemikiran itu, maka dapatlah diambil kesimpulan, bahwa Pura Dalem Puri didirikan oleh raja Jayasakti yang bergelar Çri Wira Dalem Kesari sekitar tahun 1150 M dalam hubungan pembangunan Pura Besakih yang telah diperluas oleh Empu Kuturan, berdasarkan keterangan dalam pustaka rontal Empu Kuturan.
Fungsi dan Status
            Fungsi Pura Dalem Puri dapat disimak dalam lontar Padmabhuwana dan Jayakasunu yang menyebutkan pawisik Bhatari Durga kepada Çri Haji Jayakasunu mengenai pentingnya perayaan Galungan.
            Keterangan lontar Padmabhuwana bersifat mistis yang memaparkan hubungan Pancaksara dengan Pancabrahma. Yang disebut Pancaksara adalah : Nang, Mang, Cing, Wang, Yang. Yang disebut Pancabrahma adalah : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing.
Di dalam cosmos, ING adalah nadir yaitu : prtiwi dan YANG adalah zenith yaitu : akasa. Di dalam Durgastawa, prtiwi adalah Durga dan di dalam Çiwastawa akasa adalah Çiwa. Durga berasal dari kata dur artinya sukar dan ga artinya jalan. Durga berarti sulit dijalani atau sulit didekati. Dengan demikian, maka tempat pemujaan beliau disebut Pura Dalem yang artinya tempat suci yang sangat dalam (dalam arti esensial). Durga nama lainnya : Singhawahini, Kalika, Semasana dan Bhairawi. Ini adalah aspek Çiwa dalam krodha. Dalam hal inilah Çiwa melakukan praline. Makaitu Pura Dalem di dalam Kahyangan Tiga, selalu berdampingandengan setra.
            Pura Dalem Puri seperti sudah dikemukakan adalah tempat memuja Dewi Durga yaitu unsur pradhana dari Dewa Çiwa yang dipuja di Pura Besakih. Letak Pura Dalem Puri di sebelah barat daya Desa Besakih, memberikan petunjuk pula bahwa pura itu sebagai sthana Dewi Durga. Karena arah barat daya di dalam mistik disebut Krodhadesa yaitu tempatnya Durga atau Rudra.
            Kenyataan sekarang, bahwa Pura Dalem Puri tidak berdampingan dengan setra melainkan berdampingan dengan Tegal Penangsaran. Mengapa ? Jawabannya adalah bahwa Desa Besakih mempunyai dua buah setra yang letaknya jauh di sebelah utara Pura Dalem Puri dan setra yang satu lagi letaknya di sebelah timur Pura Besakih. Kedua setra itu tidak mempunyai Pura Dalem dan masyarakat Besakih menganggap tidak perlu lagi membuat pura itu karena sudah ada Pura Dalem Puri yang nguwub (mewilayahkan) kedua setra itu.
            Dahulu, di Bali ada tradisi bahwa setra untuk keluarga raja terpisah dengan setra untuk masyarakat biasa. Besar kemungkinannya, Tegal Penangsaran di sebelah Pura Dalem Puri, di zaman dahulu adalah setra tempat pabasmian (pembakaran jenazah) keluarga raja Çri Wira Dalem Kesari yang berkeraton di Besakih. Hal itu dibuktikan pula dengan adanya Pamerajan Selonding.
            Keturunan raja Çri Wira Dalem Kesari, berpindah keratin dari Besakih ke tempat lain. Oleh karena itu, setra tempat pabasmiannya tidak ada lagi yang menggunakan, karena rakyat tidak berani memakainya, apalagi sudah mempunyai setra sendiri. Tanah lapang di sebelah timur Dalem Puri disebut Tegal Penangsaran. Istilah Tegal Penangsaran mengingatkan kepada roh-roh manusia yang beristirahat sebelum mmasuki neraka atau sorga. Di sana ada sebuah pohon yang disebut pohon curiga, yang berdaun keris. Apabila ada roh yang memiliki banyak dosa, maka daun pohon itu jatuh dan mengenai anggota tubuh roh yang ada di bawahnya.
            Ada pula kepercayaan, umat Hindu nunas pitra ke Pura Dalem Puri, setelah selesai melakukan upacara Pitrayadnya Ngaben. Konon, roh dari keluarga mereka yang diabenkan itu patut dimohon ke Pura Dalem Puri untuk dilinggihkan di sanggah/pamerajan. Mengapa ada kepercayaan semacam ini, sukar diketahui, karena hal itu didasarkan keterangan dari balian takson (maluasang).
            Sebelum diketahui sumber sastranya, maka suatu asumsi dapat diambil, bahwa adanya kepercayaan mamendak atau nunas pitra ke Dalem Puri yang dilakukan oleh beberapa keluarga di Bali, mungkin pada mulanya, leluhurnya yang menggelar Pitra Yadnya ngiring raja/keluarga raja Çri Wira Dalem Kesari yang melakukan upacara Pitra yadnya di Dalem Puri.
            Pura Dalem Puri adalah bagian tak terpisahkan dari Pura Besakih, baik mengenai fungsinya maupun mengenai pendiriannya, karena raja Jayasakti yang bergelar Çri Wira Dalem Kesari memperbesar Pura Besakih dengan pura-pura yang menjadi bagiannya.
            Pura Manik Mas
            Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi atau disebut juga Sang Hyang Giriputri (Saktinya Siwa). Piodalannya pada hari Saniscara Keliwon Wariga (Tumpek uduh).
            Pura Bangun Sakti
            Di pura ini distanakan Triantabhoga yaitu Hyang Naga Basukih, Hyang Naga Sesa dan Hyang Naga Taksaka. Piodalannya pada hari Buda Pon Watugunung. Di pura inilah konon Manik Angkeran dihidupkan kembali setelah beberapa lama wafat akibat kesalahannya hendak mencuri emas yang ada di ekor Hyang Naga Basukih. Manik Angkeran dihidupkan, berkat permohonan ayahnya yaitu Empu Sidhi Mantra. Selanjutnya Manik Angkeran agar mengabdikan hidupnya di Besakih dan tidak diperkenankan kembali ke Jawa. Agar tidak bisa pulang kembali, Empu Sidhi Mantra memotong Pulau Dawa dengan tongkat sakitnya. Sejak itulah, daratan di sebelah timur disebut Bali dan daratan di sebelah barat disebut Jawa.
            Pura Ulun Kulkul
            Di pura ini distanakan Hyang Mahadewa. Di sana ada sebuah kulkul dan sangat dikeramatkan. Dahulu, setiap desa atau banjar membuat kulkul, kulkul itu harus dipelaspas dan dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar memiliki taksu, yaitu ditaati oleh krama desa atau karma pemaksan pura. Piodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan. Saat upacarayadnya, semua bangunan pelinggih yang terdapat didalamnya dihias dengan serba kuning.
            Pura Merajan Selonding
            Pura ini sering dihubungkan dengan tradisi yang menganggap bahwa pura itu merupakan bekas merajan dari seorang raja yang hidup pada zaman Bali Kuno yakni Sri Wira Dalem Kesari. Keraton raja itu diduga terletak di sebelah selatan Pura Merajan Selonding.
            Sri Kesari Warmadewa, seorang raja BaliKuno yang diperkirakan menurunkan raja-raja di Bali Kuno yang dikenal dengan dinasti Warmadewa. Salah seorang diantaranya adalah Udayana yang memerintah di Bali sekitar tahun 989-1022M.
            Di pura ini ditemukan gambelan selonding. Sedangkan di Pura Selonding yang terletak di Desa Pecatu (Badung) tidak pernah ditemukan gambelan selonding. Kedua pura ini diduga memiliki kaitan erat. Dugaan tersebut didasarkan pada struktur bangunan dan pelinggih di Pura Selonding, dimana bangunan pokok yang dianggap sebagai pelinggih utama adalah linggih untuk pemerajan Ratu Gede Cakra Sari. Nama itu mungkin perubahan dari Ratu Gede Cakra Kesari yang dapat dihubungkan dengan Sri Wira Dalem Kesari. Jika ini benar, maka Pura Selonding Pecatu mempunyai latar belakang sejarah yang sama dengan pura Merajan Selonding Besakih sehingga dapat diduga bahwa kedua pura tersebut berasal dari zaman pemerintahan Sri Kesari Warmadewa yang memerintah di Bali sekitar tahun 825 Çaka. Istana atau puri Dalem Kesari Warmadewa di Besakih diberi nama Bumi Kuripan.
            Raja Purana Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini. Demikian pula seperangkat gamelan Selonding. Dalam Lontar Catur Muni-Muni ada dituturkan asal mulanya tabuh gamelan di Bali. Dikisahkan, Bhagawan Naradha mengajarkan para pertama menabuh gamelan dengan gamelan selonding. Sementara itu dalam Markandeya Purana ditegaskan bahwa Resi Markandeya juga memakai nama Hyang Naradhatapa. Piodalan di pura merajan Selonding dilangsungkan pada hari Wraspati Keliwon Warigadian.
            Pura Goa
            Pura Gua merupakan tempat pemujaan Hyang Naga Basuki. Dahulu kala, konon Dang Hyang SIdhimantra tiap ke Besakih, mempersembahkan empehan (susu), madu dan telur kepada Hyang Naga Basuki. Ditempat inilah Manik Angkeran memotong ekor Naga Basuki, sehingga putra Sidhimantra itu dibakar jadiabu. Akantetapi Manik Angkeran dihidupkan lagi setelah Sidhimantra (Ayah Manik Angkeran) dapat memasang kembali ekor Naga Basuki lantaran tergiur dengan emas berlian yang menyala di ekor naga. Menurut tutur tua-tua di sana, gua itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung. Hal itu diketahui secara kebetulan. Suatu hari masyarakat menggelar sabungan ayam di Gua Lawah. Salah seekor ayam lari masuk ke gua. Setelah dikejar, ayam itu keluar di gua Besakih. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu.
            Pura Banua
            Di pura sini distanakan BhataraSri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. Di sebelah timur pura ini, agak ke selatan, dahulu terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian hasil sawah druwe Pura Besakih. Namun kemudian, lumbung itu rubuh. Lumbung itu berfungsi sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih. Kata “penginih-inih berasal dari kata “inih“ yang artinya irit. Jadi maksudnya, umat memohon agar dalam pengelolaan harta kekayaan dapat dilakukan seekonomis atau seefisien mungkin.
            Pura Merajan Kanginan
            Letak pura ini, di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara Rambut Sedana dan terdapat pelinggih untuk memuliakan Empu Bradah dan Bhatara Indra. Adapun piodalannya jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kerulut atau Tumpek Kerulut. Menurut informasi dari orang-orang tua di Besakih, konon pura ini bekas merajan. Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau menjadi pertapa di Besakih.
            Pura Hyang Haluh (Jenggala)
            Pura Jenggala sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan segala Kahyangan Prajapati. Mengapa disebut demikian ? Mungkin karena di sebelah selatan pura ini, ada setra (kuburan). Tapi ada yang mengatakan, pura ini merupakan bekas pertapaan tokoh spiritual Mpu Kulputih. Dalam cerita disebutkan, Mpu Kulputih bertapa untuk mohon petunjuk, bagaimana cara melawan kelaliman Raja Mayadenawa yang melarang umat melangsungkan upacara yadnya di Besakih. Mpu Kulputih akhirnya mendapat petunjuk, yakni agar mohon bantuan ke Jambudwipa (India). Sementaraitu, Bhatara Indra juga turun dan membasmi Mayadenawa.
            Tafsiran lain, ada yang mengatakan pura Jenggala juga merupakan Kahyangan Melanting dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker. Di pura ini terdapat beberapa patung batu kuno menyerupai seorang resi, garuda dan berbagai bentuk lainnya. Patung yang disakralkan, dibuatkan pelinggih.
            Pura Basukihan
            Di pura ini Danghyang Markandeya menanam pedagingan pancadatu (lima jenis logam dengan kelengkapan upakaranya). Letak pura ini, di kaki Pura Penataran Agung yaitu di sebelah kanan tangga (kalau kita sedang menaiki tangga) Pura Penataran Agung. Pura ini memiliki pelinggih induk berupa meru tumpang pitu. Perlu juga diketahui, Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga didesa-desa, yaitu Pura Puseh, Pura Desadan Pura Dalem. Dari kelengkapan pelinggih-pelinggih yang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, menunjukkan bahwa pura Basukihan itu adalah Pura Puseh Jagat, Pura PenataranAgung berfungi sebagai Pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari Piodalannya jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau Budha Cemeng Kelawu.
            Pura Penataran Agung
            Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa pura ini adalah tempat pesamuaning bhatara kabeh (pertemuan semua bhatara). Mungkin karena itulah, Pura Penataran Agung merupakan yang terbesar dan terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, dan merupakan pusat dari semua pura yang ada di Besakih.
            Pura Batu Madeg
            Pura Batu Madeg letaknya di belah utara Penataran Agung. Pura ini cukup luas, banyak memiliki palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah berupa meru tumpang 11, stana Hyang Wisnu. Piodalan di pura ini dilangsungkan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima.
            Palinggih-palinggih di Pura antara lain :
1.         Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktra. Konon para pejuang kemerdekaan banyak yang bersamadhi di palinggih ini.
2.         Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.
3.         Gedong palinggih Bhatara Pujungsari.
4.         Meru tumpang 11 palinggih Bhatara Manik Bungkah.
5.         Meru tumpang 11 palinggih BhataraBagus Babotoh.
6.         Meru tumpang II palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
7.         Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila membuat empelan (bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekeringan.
8.         Meru tumpang 9 Pelinggih Bhatara Manik Buncing.
9.        Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh prati sentananya (keturunannya) dan sekarang     dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.
10.       Bale Tegeh Palinggih Lingga.
11.       Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum di hadapan Hyang Wisnu.
12.       Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
13.       Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
14.       Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri yaitu di Bale Pelik bagian Timur.
15.       Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar.
            Bila melangsungkan karya agung di Pura Besakih demikian pula pengaci di Pura Batu Madeg, semua palinggih yang terdapat di pura ini dihias dengan warna serba hitam, sesuai dengan warna Dewa Wisnu.
            Pura Batu Kiduling Kreteg
            Pura Kiduling Kreteg, terletak di sebelah Timur sungai melalui sebuah jembatan. Pelinggih pokoknya yakni Meru tumpang 11 stana Hyang Brahma. Selain disebut Pura Kiduling Kreteg, pura ini juga kadang-kadang disebut Pura Dangin Kreteg. Sebutan itu muncul mungkin karena pandangan yang berbeda, jika dilihat dari Pura Penataran Agung. Ada yang menganggap, pura ini berada di sebelah timur kreteg (jembatan) dan ada pula yang memandang di sebelah selatan kreteg (jembatan). Memang bias dimaklumi, karena Pura Besakih menghadap agak miring ke arah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu, Badung. Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih memang disebut Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi predana dan Pura Besakih Purusa.
            Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan. Sedangkan Aci Panyebab Brahma diselenggarakan setahun sekali pada hari purnama sasih kaenem. Aci Panyebab Brahma adalah upacara untuk memohon agar padi di sawah tidak merana dan hangus kekeringan. Saat upacara di pura ini, semua pengangge pelinggih berwarna merah sesuai dengan warna Dewa Brahma.
            Pura Gelap
            Pura Gelap berada di dataran yang agak tinggi. Pelinggih pokok di pura ini berupa meru tumpang 3, sebagai stana Hyang Iswara. Selain itu, ada juga sebuah Padma, Palinggih Siwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama Sasih Karo.Sesuai dengan namanya (Aci Pengenteg Jagat), umat memohon agar diberi ketenangan, kedamaian dunia. Tiap karya, semua penganggedi pura ini berwarna serba putih, sesuai dengan warna Dewa Iswara.
            Pura Pengubengan
            Di pura ini, berdiri pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Pura ini letaknya di sebelah utara Pura Penataran Agung. Di sini terdapat pelinggih pokk meru tumpang 11 di samping balegong, bale pelik, piyasan. Di antara pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan paling tinggi. Masyarakat bisa mempersembahkan haturan-nya ke puncak Gunung Agung melalui Pura Pengubengan ini. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.
            Pura Batu Tirtha
            Letak pura ini tidak jauh dari Pura Pengubengan, yaitu di sebelah timurnya. Di pura ini terdapat sumber tirtha yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih ataupun karya-karya agung didesa pekraman, atau di merajan. Piodalan di pura Tirtha jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.
            Pura Batu Peninjoan
            Diberi nama Batu Peninjoan, karena di pura inilah Empu Kuturan meninjau wilayah Desa Besakih yang sekarang menjaditempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan sekitarnya. Dari pura yang memiliki sebuah meru tumpang 9 ini, Empu Kuturan merencanakan pembangunan dan memperluas Pura Besakih. Ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih meru, kahyangan tiga, berdasarkan aturan Asta Kosala Kosali sampai sekarang masih dijadikan pedoman oleh umat Hindu. Setelah wafat, beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan. Beliau distanakan di meru tumpang 9 di pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti di Silayukti (Padangbai-Karangasem). Dari Pura Peninjoan, semua pelinggih di PUra Penataran Agung dapat dilihat dengan jelas. Selain meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan di Pura Peninjoan dilangsungkan pada hari Wraspati Wage Tolu.
Pura Besakih Tempat Penguasa Semua Penjuru Dunia
            Pura Besakih sebagai sentral, memiliki banyak legenda, serta mitologi lisan maupun tertulis. Sastra sejarah seperti babad, usana dan purana cukup banyak mengungkap hal itu.
            Tokoh Hindu yang juga rajin menggeluti sastra daerah, Ida Bagus Agastia dalam sebuah tulisannya mengatakan, Rsi Markandeya disebut-sebut sebagai orang suci pertama kali menanam panca datu sebagai dasar Pura Besakih. Pura ini memiliki perjalanan panjang, pada perkembangannya kini menjadi pusat bagi masyarakat Bali.
            Cerita pengabdian penuh bakti dari Sang Kulputih, seorang juru sapuh di Besakih, bias disimak dalam lontar Sangkulpinge. Yang juga memiliki nilai sejarah adalah usaha-usaha Mpu Kuturan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Pura Sad Kahyangan di Bali. Berikutnya, Mpu Bharadah (pandita Kerajaan Airlangga) yang merupakan saudara kandung Mpu Kuturan, melanjutkan kembali penataan Pura Besakih. Sebuah prasasti yang dinamai Mpu Bharadah yang disimpan di Pura Batu Madeg Besakih, memuat tahun Saka 929 (1007 M). Tahun itu diduga masa kedatangan Mpu Bharadah di Besakih.
            Berikutnya kehadiran Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) sebagai pandita Kerajaan Gelgelzaman Raja Dalem Waturenggong—juga besar peranannya dalam menata kemali kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Termasuk kemudian menata kembali kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Termasuk kemudian menata kembali Pura Besakih dan tata upacaranya. Dang Hyang Dwijendra pernah menyarankan Raja Waturenggong untuk menggelar upacara Eka Dasa Rudra di Besakih, sekalian dengan runtutan upacaranya sebagaimana kini kita warisi.
            Jika mengikuti langsung pelaksanan upacara besar di Besakih seperti Eka Dasa Rudra (tiap 100 tahun) atau tawur sepuluh tahunan Panca Walikrama, barulah akan bisa diketahui secara simbolis bahwa Besakih adalah madyaning bhuwana (sentralnya dunia) sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya (kekuatannya) yang menguasai semua penjuru dunia, yakni Iswara,Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambhu. Ini sesuai dengan konsep pengider-ider bhuwana.
Persembahyangan Dimulai di Pura Manik Mas
            Untuk bersembahyang ke Pura Besakih, sesungguhnya ada tata caranya. Selain didasari kesucian lahir-batin, persembahyangan dimulai dari Pura Manik Mas. Setelah itu, barulah ke pura lain. Tujuannya, menurut sejumlah sumber agar pendakian spiritual lebih berhasil. Ibarat menaiki tangga, meski pendakian dimulai dari bawah.
            Dahulu, saat masih zamah kerajaan, raja-raja di Bali pun, yang sembahyang ke Pura Besakih selalu berhenti dan menambatkan kudanya didekat Pura Manik Mas. Lalu raja diikuti keluarga atau pengiringnya berjalan kaki sembahyang dari Pura Manik Mas. Setelah itu, barulah persembahyangan dilanjutkan ke atas.
            Umat pun kini dihimbau agar melakukan tata cara itu, meskipun banyak jalan sudah bias dilalui untuk menuju pura di atas. Usai sembahyang dengan tujuan mohon izin (anugraha) tangkil di Pura Manik Mas, barulah ke pura pedarman. Berikutnya sesuai tujuan penangkilan, apakah ke pura yang termasuk caru loka pala (empat pura yang memiliki palebahan besar mengelilingi Pura Penataran Agung). Catur loka pala itu, yakni Pura Kiduling Kreteg, Pura Batu Madeg, Pura Gelap dan Pura Ulun Kulkul.
Pura Besakih Hulunya Bali
            Selain sebagai sentral, Pura Besakih juga merupakan pura kahyangan jagat yang memiliki kedudukan paling utama di Pulau Bali. Dalam Lontar Padma Bhuwana, Pura Besakih dinyatakan sebagai huluning Bali Rajya. Artinya, Pura Besakih dinyatakan sebagai huluning Bali Rajya. Artinya, Pura Besakih sebagai hulunya derah Bali atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di sebelah timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah gunung dan arah munculnya matahari sebagai symbol kehidupan. Gunung symbol sumber mata air dantimur adalah arah terbitnya matahari. Tanpa air dan sinar matahari,tak ada tumuh-tumuhan dan makhluk lainnya yang bias bertahan hidup. Sedangkan tumbuh-tumuhan adalah sumber makanan bagi hewan dan manusia. Ini berarti, arah Pura Besakih adalah sumber kesuburan dan kemakmuran daerah Bali.
            Pelinggih yang paling utama di Pura Besaih menurut tokoh Hindu di Bali, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, adalah Padma Tiga. Di pelinggih Padma Tiga ini, menurut Piagam Besaih, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu Tuhan dalam kemahakuasaan-Nya menjiwa Tri Bhuwana. Sang Hyang Para Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwaSwah Loka. Sang Hyang Sada Siwa yakni Tuhan yang menjiwai Bhuwah Loka dan Sang Hyang Siwa Tuhan yang menjiwai Bhur Loka.
            Tujuan pemujaan Sang Hyang Tri Purusa ini dinyatakan dalam kutipan Wrehaspati Tatwa yang intinya memajukan kehidupan spiritual umat Hindu. Pelinggih Pada Tiga ini berada di mandala kdua Penataran Agung Besakih. Penataran Agung Besakih ini dibagi menjadi tujuh mandala. Mandala pertama sampai kedua sebagai gamaran proses bakti umat manusia pada Tuhan. Sedangkan mandala kedua sampai ketujuh sebagai gambaran proses Tuhan mengaruniai (sweca) umat-Nya yang bhakti itu. Jadi, di Padma Tiga itu dilukiskan bertemunya bhakti kelawan sweca. Dalam Wrehaspati Tattwa Sloka 11 dinyatakan bahwa Padmasana itu adalah bangunan suci sebagai media memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Siwa.
            Dalam kompleks Pura Besakih ini Tuhan juga disimbolkan wyapi wyapaka (berada di mana-mana) yang diwujudkan dalam bentuk pura. Di timur Pura Gelap, di selatan pura Kiduling Kreteg, di barat Pura Ulun Kulkul, di utaraPura Batu Madeg dan ditengah Padma Tiga. Kelima kompleks pura ini berada di areal yang disebut luhuring ambal-ambal. Pura Ulun kulkul meskipun berada di areal soring ambal-ambal, menurut Wiana, tergolong para luhuring amal-ambal karena sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Mahadewa.
            Di kompleks Pura Besakih ini alam semesta dilukiskan dalam berbagai dimensi sacral. Ada kompleks pura tergolong berada di areal luhuring ambal-ambal, symbol Sapta Loka atau alam Dewata. Ada juga kompleks pura yang berada di areal yang disebut soring ambal-amal yaitu alam bawah sebagai symbol Sapta Petala. Titik sentral luhuring ambal-ambal adalah di Meru Tumpang Lima dimandala ketiga PenataranAgung yang disebut Pelinggih Kehen. Sedangkan titik sentral soring ambal-ambal yaitu di Pelinggih Gedong berada di Pura MerajanSlonding. Di areal luhuring ambal-ambal terdapat bangunan suci sebagai media memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Panca Dewata.
            Di soring ambal-ambal pelinggih yang paling utama adalah Pura Dalem Puri, Pura Manik Mas, Pura Bangun Sakti, Pura Basukian, Pura Pengubengan, Pura Rambut Sedana, Pura Goa Raja, Pura Jenggala dan Pura Peninjoan. Tuhan yang menjiwai alam atas disimbolkan di pura luhuring ambal-amal. Sedangkan yang menjiwai alam bawah disimbolkan di pura soring ambal-amal. Keberadaan Pura Besakih memvisualisasikan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesame manusia dan dengan alam semesta berdasarkan ajaran agama Hindu (Veda).

Garuda Wisnu Kencana

Tentang Garuda Wisnu Kencana (GWK)

Tahukah kamu sejarah tentang GWK (Garuda Wisnu Kencana) di Bali?
Letak
Patung Garuda Wisnu Kencana yang Terletak diatas dataraan tinggi batu kapur padas dan menatap kawasan wisata dipesisir selatan Bali, Garuda Wisnu Kencana Cultural Park adalah jendela seni dan budaya Pulau Dewata yang memiliki latar belakang alami serta panorama yang sangat mengagumkan. Dengan jarak tempuh 15 menit dari Pelabuhan Udara dan kurang dari satu jam dari lokasi perhotelan utama, GWK menjadi salah satu tujuan utama untuk berbagai pertunjukan kesenian, pameran dan konferensi ataupun kunjungan santai bahkan kunjungan spiritual. Patung ini merupakan karya pematung terkenal Bali, I Nyoman Nuarta. Monumen ini dikembangkan sebagai taman budaya dan menjadi ikon bagi pariwisata Bali dan Indonesia. Area Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana berada di ketinggian 146 meter di atas permukaan tanah atau 263 meter di atas permukaan laut.
Sejarah Garuda Wisnu Kencana
Patung tersebut berwujud Dewa Wisnu yang dalam agama Hindu adalah Dewa Pemelihara (Sthiti), mengendarai burung Garuda. Tokoh Garuda dapat dilihat di kisah Garuda & Kerajaannya yang berkisah mengenai rasa bakti dan pengorbanan burung Garuda untuk menyelamatkan ibunya dari perbudakan yang akhirnya dilindungi oleh Dewa Wisnu.
Kawasan seluas 250 hektar ini merangkum berbagai kegiatan seni budaya, tempat pertunjukan serta berbagai layanan tata boga. Sebagaimana istana-istana Bali pada jaman dahulu, pengunjung GW K akan menyaksikan kemegahan monumental dan kekhusukan spiritual yang mana kesemuanya disempurnakan dengan sentuhan modern dengan fasilitas dan pelayanan yang tepat guna. Kendatipun anda datang sebagai bagian dari ribuan pengunjung sebuah event kebudayaan ataupun seorang diri untuk menikmati sekedar hidangan ringan dan minuman sembari menyaksikan matahari terbenam, anda akan merasakan keindahan alam dan budaya Bali serta keramah-tamahan penduduknya.
Patung ini diproyeksikan untuk mengikat tata ruang dengan jarak pandang sampai dengan 20 km sehingga dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot. Patung Garuda Wisnu Kencana ini merupakan simbol dari misi penyelamatan lingkungan dan dunia. Patung ini terbuat dari campuran tembaga dan baja seberat 4.000 ton, dengan tinggi 75 meter dan lebar 60 meter. Jika pembangunannya selesai, patung ini akan menjadi patung terbesar di dunia dan mengalahkan Patung Liberty.
Pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana berakhir setelah lengsernya Presiden Megawati dari presiden. Selama pemerintahan presiden SBY hingga sekarang tidak lagi dilanjutkan pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana. Patung Garuda Wisnu Kencana dibiarkan patung badan, tangan, dan burung garudanya terpisah. Apabila patung Garuda Wisnu Kencana dilanjutkan, maka patung Gruda Wisnu Kencana menjadi patung tebesar di dunia. Tentu dari selesainya pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana dapat menambah pariwisata di bali yang lebih mendunia apabila patung Garuda Wisnu Kencana telah jadi. Konon apabila patung Garuda Wisnu Kencana telah jadi, patung ini dapat terlihat hingga benua Australia apabila tak ada gedung pencakar langit yang dapat menghalangi.
Gambar-gambar
a. badan patung GWK

b. tangan patung GWK

c. patung burung garuda pada patung GWK

d. sketsa patung Gwk apabila telah diselesaikan







objek wisata di Bali

Aneka ragam tempat wisata di Kabupaten Klungkung Bali dapat anda kunjungi selama acara tour di Bali anda. Simak tempat wisata di Bali yang dapat anda kunjungi selama tour di Bali sebagai berikut :

 

 Kerta Gosa

Kertagosa salah satu objek wisata yang terletah di tengah - tengah Kota Kabupaten Klungkung, Bali, kira-kira 40 km ke arah timur dari Denpasar. Kertagosa merupakan tempat permbahasan segala sesuatu yang bertalian dengan situasi keamanan, kemakmuran serta keadilan wilayah kerajaan Bali. Kertagosa terdiri dari dua buah bangunan (bale) yaitu Bale Kerta Gosa dan Bale Kambang. Disebut Bale Kambang karena bangunan ini dikelilingi kolam yaitu Taman Gili. Keunikan Kerta Gosa dengan Bale Kambang ini adalah pada permukan plafon atau langit-langit bale ini dihiasi dengan lukisan tradisional (gaya wayang). Fungsi dari kedua bangunan terkait erat dengan fungsi pendidikan lewat lukisan-lukisan wayang yang dipaparkan pada langit-langit bangunan. Cerita yang di lukiskan adalah tentang Tantri kemudian tentang cerita Bima Swarga yang banyak sekali memperlihatkan tentang hukum karma phala, serta cerita tentang penitisan kembali (reinkarnasi) ke dunia karena perbuatan dan dosa-dosanya.
Jadi yang mendominasi cerita di atap bale ini adalah tentang kharma pala sehingga bale ini pada waktu kerajaan dulu di fungsikan untuk pengadilan. Yang menarik kursi peninggalan jaman kerajaan yang sudah direnovasi masih tertata rapih seperti bagaimana posisinya pada jaman kerajaan dulu.
Daya tarik dari balai Kerta Gosa ini adalah di langit-langit bangunan terdapat lukisan-lukisan wayang yang memiliki cerita tentang kehidupan sehari-hari, karma phala, ramalan gempa dan filsafat hidup. Di samping balai Kerta Gosa terdapat banguan yang dikelilingi oleh kolam bernama Taman Gili. Suasana kerajaan sangat terasa di tempat ini, semua tertata rapih dan bersih. Tentunya kepedulian Pemda setempat untuk merawat salah satu objek wisata yang bersejarah di pulau Bali. 

 
 

Goa Lawah
Goa Lawah Merupakan Salah Satu Kahyangan Jagat dan objek wisata di Bali,  yang merupakan perpaduan antara laut dan gunung yang mengandung suatu rasa terimakasih ke Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi Girinatha sebagai pelindung gunung dan baruna sebagai penguasa laut. Pura Goa Lawah terletak sekitar 49km dari Kota Denpasar tepatnya di Kecamatan Dawan,Klungkung atau sekitar 10km sebelah timur Kota Semarapura.Tidak diketahui pasti siapa pendiri dan kapan didirikannya Pura Goa Lawah ini tetapi pura ini diperkirakan didirikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11.Pura yang dihuni oleh ribuan kelelawar ini termasuk sebagai Kahyangan Jagat atau Sad Kahyangan. Pemandangan ditempat ini terasa unik, sebuah goa kelihatan dibawah pohon yang rindang, sementara dimulut goa terdapat beberapa pelinggih. Pura Goa Lawah menempati wilayah pantai yang bertemu dengan wilayah perbukitan.   Dipelataran pura berdiri kukuh beberapa meru dan stana lainnya.
Di bagian Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa),  Meru Tumpang Tiga, Gedong Limasari dan Gedong Limascatu.
Dari sejarahnya Pura Goa Lawah mengenai siapa yang membangunnya dan kapan dibangun masih bisa diungkap misterinya karena bangunan pemujaan terlalu tua usianya, sehingga tidak ada nara sumber yang benar-benar mengetahui mengenai seluk beluk Pura Goa Lawah.

Gardu Pandang Gombel

GARDU PANDANG GOMBEL
Gemerlap Semarang Dalam Balutan Warna-Warni Lampu Kota

Gemerlap lampu kota di malam hari selalu menjadi pemandangan yang indah untuk dilihat. Apalagi jika menyaksikan dari tempat yang tinggi seperti menara pandang, lantai atas gedung bertingkat, atau puncak bukit. Di Semarang terdapat satu tempat yang bisa digunakan untuk menikmati pemandangan seluruh kita dari sebuah bukit. Tempat itu bernama Gardu Pandang Gombel. Sebelum bernama Gardu Pandang Gombel, kawasan ini dikenal dengan nama Taman Tabanas karena di tempat tersebut terdapat Tugu Tabanas yang menjulang tinggi. Lokasinya yang berada di salah satu lereng Bukit Gombel menjadikan orang lebih senang menyebut tempat ini dengan nama Gardu Pandang Gombel atau dalam dialek Semarang menjadi Nggombel.
Sebagai salah satu tempat nongkrong favorit di Semarang, kawasan Gombel selalu dipenuhi muda-mudi yang asyik bercengkerama. Lokasinya yang strategis, tepat di tepi Jalan Setiabudi yang menghubungkan kawasan Semarang Atas dan Semarang Bawah ini menjadi salah satu alasan mengapa Gardu Pandang Gombel ini selalu ramai dikunjungi. Dari ketinggian bukit yang konturnya menyerupai tembok raksasa yang memanjang dari timur hingga barat ini, siapapun dapat menyaksikan lanskap Kota Semarang dengan jelas. Rumah-rumah penduduk, gedung-gedung perkantoran, pabrik-pabrik, hingga cerobong asap di pelabuhan serta kapal yang berlayar di laut pun bisa terlihat.
Waktu terbaik untuk menikmati keindahan Kota Semarang dari ketinggian adalah saat sore hingga malam hari. Sinar matahari sore yang keemasan mengguyur seluruh penjuru kota, kemudian meredup perlahan seirama dengan pergerakan matahari yang tenggelam di ufuk barat. Langit pun seakan berlomba merubah warna mulai dari kuning emas, merah lembayung, ungu, hingga biru. Saat gelap datang menjemput, titik-titik cayaha mulai bermunculan dari arah bawah, lambat laun semakin banyak, dan akhirnya menjadi lautan cahaya yang indah. Jika cuaca sedang cerah, kerlip bintang yang bertaburan di langit dapat terlihat dengan jelas.
Sambil menikmati indahnya gemerlap Semarang dalam balutan warna-warni lampu kota, Anda dapat memesan secangkir teh atau kopi dan jagung bakar kepada pedagang yang berjualan di Gardu Pandang Gombel. Jika ingin suasana yang lebih romantis, di dekat Tugu Tabanas terdapat beberapa cafe dan restauran yang bisa dipilih sebagai lokasi santap malam.



Pura Uluwatu
Pura yang terletak di ujung selatan pulau Bali dan mengarah ke samudra Hindia, merupakan tempat wisata yang menawan. Pura ini berdiri kokoh di atas batu karang yang menjorok ke arah laut dengan ketinggian sekitar 50 meter.


GWK
Patung ini berlokasi di Bukit Unggasan - Jimbaran Bali. Karya masterpiece Bali I Nyoman Nuarta. Saat ini dikembangkan sebagai taman budaya dan menjadi Landmark bagi pariwisata Bali dan Indonesia.
Patung tersebut berwujud Dewa Wisnu yang dalam agama Hindu adalah Dewa Pelindung, mengendarai burung Garuda. Diambil dari cerita "Garuda & Kerajaannya" dimana rasa bhakti dan pengorbanan burung Garuda untuk menyelamatkan ibunya dari perbudakan akhirnya dilindungi oleh Dewa Wisnu.
Patung ini dibangun dengan ketinggian 140 meter, diproyeksikan untuk mengikat tat ruang dengan jarak pandang sampai dengan 20 km sehingga dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot. Patung Garuda Wisnu Kencana ini merupakan simbol dari misi penyelamatan lingkungan dan dunia.



Nusa Dua
Kawasan wisata ini terletak di paling selatan Pulau Bali, suatu lokasi yang paling dini mendapat sinar pagi. Di sepanjang 4 kilometer pantainya yang berpasir putih ditumbuhi ratusan hektar pohon nyiur dengan hotel-hotel berbintangnya nan megah berfasilitas standar internasional. NUSA DUA yang berjarak hanya 15 menit dari pelabuhan udara Ngurah Rai Bali telah banyak memberikan kontribusi pembangunan kepariwisataan dan bahkan mengimbas ke daerah-daerah disekitarnya, seperti Benoa dan Sawanga


Pantai Jimbaran
Pantai Jimbaran terletak di sebelah selatan dan bersebelahan dengan Pantai Kedonganan, pantai ini juga menawarkan hal yang sama dengan yang lain, hanya airnya lebih jernih, sehingga nyaman untuk renang, rileks dan berjemur diri.
Di pantai Jimbaran terdapat beberapa hotel besar dengan fasilitas lengkap dan standar internasional. Beberapa unit cafe juga berjajar di pantai menyediakan berbagai makanan sari laut, khususnya ikan bakar, dengan aroma dan rasa khasnya yang mengundang selera.


pantai Kuta
Pantai Kuta yang lebar, berpasir putih bersih merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, sehingga ada ucapan, Datang ke Bali tanpa mengunjungi Kuta belumlah lengkap. Di kala senja di saat Surya mulai terbenam, Kuta menyajikan pemandangan yg sangat indah dan romantis. Sambil menikmati hembusan udara sejuk menyegarkan, Kuta sering dipakai tempat berolah raga sore yang mengasyikkan. Pada tahun 1930, Kokes mempromosikan Bali sekaligus Kuta, serta memberikan inspirasi pembangunan Hotel berarsitektur Kotij (cottage).
Kini Kuta telah mampu menjadi pusat pariwisata Bali, karena telah dapat menyediakan fasilitas lengkap sesuai kebutuhan wisatawan seperti berbagai penginapan dan hotel, pusat-pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, kehidupan malam begitu semarak, sarana dan fasilitas olahraga seperti Bungy jumping, water boom dan lain sebagainya.


Pura Taman Ayun
Pura taman Ayun ini terletak di Desa Mengwi sekitar 18 kilometer barat laut kota Denpasar dan merupakan salah satu dari pura-pura yang terindah di Bali. Halaman pura ditata sedemikian indah dan dikelilingi kolam ikan yang dibangun tahun 1634 oleh Raja.Mengwi saat itu I Gusti Agung Anom. Dihiasi oleh meru - meru yang menjulang tinggi dan megah diperuntukkan baik bagi leluhur kerajaan maupun bagi para Dewa yang bestana di Pura-pura lain di Bali.
Pura Taman Ayun adalah Pura lbu (Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Setiap 210 hari tepatnya setiap "Selasa Kliwon Medangsia" (Menurut perhitungan tahun Saka) segenap masyarakat Mengwi merayakan piodalan selama beberapa hari memuja Tuhan dengan segala manifestasinya.
Kompleks Pura dibagi menjadi 4 halaman yang berbeda, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Halaman Pertama disebut dengan Jaba yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya jembatan kolam dan Pintu gerbang. Begitu masuk di sana ada tugu kecil untuk menjaga pintu masuk dan di sebelah kanannya terdapat bangunan luas (wantilan) dimana sering diadakan sabungan ayam saat ada upacara.
Di halaman ini, juga terdapat tugu air mancur yang mengarah ke 9 arah mata angin. Sambil menuju ke halaman berikutnya, di sebelah kanan jalan terdapat sebuah komplek pura kecil dengan nama Pura Luhuring Purnama.
Areal ke tiga atau Halaman ke dua, posisinya lebih tinggi dari halaman pertama untuk masuk ke halaman ini, pengunjung harus melewati pintu gerbang kedua. Begitu masuk, pandangan akan tertuju pada sebuah bangunan Aling-aling "Bale Pengubengan" yang dihiasi dengan relief menggambarkan "Dewata Nawa Sanga", (9 Dewa penjaga arah mata angin).
Di sebelah timur halaman ini ada satu Pura kecil disebut Pura Dalem Bekak, sedangkan di pojok sebelah barat terdapat sebuah Balai Kulkul menjulang tinggi.
Areal ke empat atau halaman terakhir adalah yang tertinggi dan yang paling suci. Pintu gelung yang paling tengah akan dibuka di saat ada upacara, tempat ke luar masuknya arca dan peralatan upacara lainnya. Sedangkan Gerbang yang di kiri kananya adalah untuk keluar masuk kegiatan sehari-hari di pura tersebut. Halaman ini terdapat beberapa meru menjulang tinggi dengan berbagai ukuran dan bentuk. Tiga halaman dari Pura ini melambangkan tiga tingkat kosmologi dunia, dari yg paling bawah adalah tempat / dunianya manusia, ke tingkat yang lebih suci yaitu tempat bersemayamnya para dewata, serta yang terakhir melambangkan Sorga tempat berstananya Tuhan Yang Maha Esa. Seperti dikisahkan dalam cerita kuno Adhiparwa , keseluruhan kompleks pura menggambarkan Gunung Mahameru yang mengapung di tengah lautan susu.
Pura ini hancur karena gempa bumi hebat yang terjadi pada tahun 1917 dan tidak sempat dipugar hingga tahun 1950. Candi bentar dan tugu yang tingginya mencapai 16 meter di halaman bagian dalam Pura tersebut dibangun sesuai arsitektur Jawa, sedangkan candi yg kecil berupa tempat duduk dari batu berjumlah 64 buah merupakan tugu leluhur jaman megalitikum untuk mengenang para ksatria yang gugur dalam perang.


Desa Sangeh
Sangeh adalah nama sebuah desa yang dibagian utara desanya.ditumbuhi pohon Pala seluas 14 hektar dan dihuni oleh ratusan kera. Pohon pala seperti itu tidak dijumpai di tempat lain di Bali dan keberadaannya di Sangeh ini merupakan misteri. Sebuah pura kecil diselimuti lumut hijau tersembunyi disela-sela hutan pala yang menjulang tinggi itu. Di punggung sebuah tugu pura tersebut di pahat patung Garuda, seekor burung mistik yang di dalam cerita Samudramantana dikisahkan sedang mencari tirta Amerta di dasar samudra, kemudian atas jasanya oleh Betara Wisnu, dihadiahkan seteguk kepadanya, akhirnya Garuda menjadi kendaraan setia Bathara Wisnu.


Tanjung Benoa
Di sebelah utara kawasan Nusa Dua adalah Tanjung Benoa. Terletak di sepanjang pantai yang landai dengan pasirnya yang putih bersih merupakan tempat yang menyenangkan untuk melakukan beraneka olah raga dan rekreasi air, seperti.; snorkling, parasailing, diving, naik boat, berlayar, berselancar, melihat pemandangan bawah laut dengan glass buttom boat dan berbagai kegiatan olah raga air lainnya.
Sebagai bagian dari kawasan Nusa Dua, Tanjung Benoa juga terdapat beberapa hotel berbintang lima dengan fasilitasnya yang megah.


Waterboom
Waterboom ini terletak di jalan Dewi Sartika, Tuban sekitar 2 km ke arah Utara dari Bandara Ngurah Rai. Kolam renang dan pertamanan yang ditata asri ini sangat digemari untuk tempat rekreasi keluarga baik oleh wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal, dan dibuka setiap hari mulai pukul 9.00 pagi hingga pukul 6 petang, serta mampu menampung pengunjung sampai 1000 orang. Kolam renangnya dibagi untuk beberapa jenis kegiatan seperti race track, pleasure pool, lazy river, raft river dan jungle rides.
Di dalam lokasi ini tersedia fasilitas berupa restaurant, ruang ganti pakaian, petugas penyelamat, lapangan volley pantai, toko souvenir dan arena bermain bagi anak-anak.